MAKALAH
“Etika Islam dalam
Menyikapi Perbedaan Agama Demi Terlaksanaya Revitalisasi Kebhinnekaan sebagai
Pendorong Semangat Kebangsaan dan Memperkokoh NKRI ”
(TEMA : H)
Disusun untuk Memenuhi Syarat
Mengikuti Intermediate Training (LK II)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang
Medan
Oleh:
SEPRI
GUNANDA
HIMPUNAN
MAHASISWA ISLAM (HMI)
KOMISARIAT
EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
CABANG
BUKITTINGGI
2017
KATA
PENGANTAR
Puji Syukur saya ucapkan
kehadirat Allah SWT. atas limpahan
rahmat-Nyalah saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Berikut penulis mempersembahkan
makalah sebagai syarat mengikuti Intermediate Training (LK-II) HMI Cabang Medan
dengan judul “Etika Islam dalam Menyikapi
Perbedaan Agama Demi Terlaksananya Revitalisasi Kebhinnekaan sebagai Pendorong
Semangat Kebangsaan dan Memperkokoh NKRI” yang menurut saya menjadi hal
yang urgen bagi kita untuk dibahas.
Melalui kata pengantar ini, penulis
terlebih dahulu mohon maaf bila dalam penulisan makalah ini jauh dari
kesempurnaan dan terdapat kesalahan. Dan saya mengharapkan kritikan dan saran
kepada pembaca agar dapat menyempurnakan isi makalah ini sehingga dapat
bermanfaat.
Bukittinggi, 9
Januari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar..............................................................................................................i
Daftar
Isi........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang...................................................................................................1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................................2
C. Tujuan
Pembahasan..........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Etika Islam..........................................................................................................3
1.
Pengertian
Etika...........................................................................................3
2.
Etika
dalam Pandangan Islam......................................................................5
B. Bhinneka Tunggal
Ika.........................................................................................6
1.
Pengertian
Bhinneka Tunggal Ika................................................................6
2.
Bhinneka
Tunggal Ika, Ciri Multikulturalisme Bangsa..................................7
3.
Implementasi
Bhinneka Tunggal
Ika............................................................8
C. Kebangsaan dan
NKRI......................................................................................10
1.
Kebangsaan................................................................................................10
2.
NKRI............................................................................................................14
D. Implementasi Etika Islam dalam
Revitalisasi Semangat Kebangsaan..............18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................23
B. Saran.................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................25
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Bangsa
Indonesia adalah Bangsa yang sering disebut dengan bangsa paling majemuk di
dunia. Negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa ini, berdiam
tidak kurang dari 300 etnis dengan identitas kulturnya masing-masing, lebih
dari 250 bahasa dipakai, beraneka adat istiadat serta beragam agama yang
dianut. Kendati demikian, kehidupan berjalan apa adanya selama bertahun-tahun.
Orang dengan suku berbeda dapat hidup rukun dengan suku lain yang berbeda adat,
bahasa, agama, dan kepercayaan. Gesekan dan konflik memang kerap terjadi karena
memang hal itu bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada
masih dalam tahap kendali.
Negara yang
memiliki keunikan multietnis dan multimental seperti Indonesia dihadapkan pada
dilematisme tersendiri, di satu sisi membawa Indonesia menjadi bangsa yang
besar sebagai multicultural nation-state,
tetapi disisi lain merupakan suatu ancaman. Maka bukan hal yang berlebihan bila
ada ungkapan bahwa kondisi multikultural diibaratkan seperti bara dalam sekam
yang mudah tersulut dan memanas sewaktu-waktu. Kondisi ini merupakan suatu
kewajaran sejauh perbedaan disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu
yang harus disikapi dengan toleransi.
Keadaan dapat
berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu menyikapi dan mengelola segala
perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi sosial” bagi pemenuhan
kepentingan bersama. Sehingga Indonesia dengan semboyan bhinneka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu” haruslah
menjadi penyemangat dan pendorong setiap elemen masyarakat dalam kesatuan dan
persatuan NKRI.
Semboyan yang
diungkapkan bangsa Indonesia ini hingga detik ini belum menampakkan suatu
perwujudan. Masih banyak yang menciderai bhinneka tunggal ika dengan konflik
dan gesekan budaya. Tidak hanya itu, kejadian yang baru-baru ini kita lihat di
stasiun televisi dan di media sosial, dimana konflik dan pergesekan terjadi
dalam masalah agama yang ada di Indonesia khususnya Islam. Bagaimana Islam
selalu terperosok dan disudutkan dalam setiap permasalahan, membuat umat Islam
selalu memberikan perlawanan sebagai bentuk pembelaan terhadap agamanya.
Gesekan demi gesekan antar umat beragama menjadi salah satu faktor yang melukai
nilai-nilai kebhinnekaan tunggal ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia ini. Dan inilah yang perlu diperbaiki oleh bangsa kita, agar
perbedaan ini dapat menjadi energi sosial dalam membangun negara menjadi lebih
baik.
Dari masalah
tersebut, Islam sendiri telah mengajarkan umatnya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Bagaimana sikap seorang muslim terhadap non-muslim, dan bagaimana
menyikapi perbedaan lainnya dalam menjaga keutuhan NKRI. Dan tentunya ada
beberapa hal yang sangat didorong oleh Islam dalam mewujudkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan
bernegara di Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Etika Islam dalam menyikapi
perbedaan agama demi terlaksananya revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika sehingga
timbul semangat kebangsaan dan dapat memperkokoh persatuan dalam NKRI.
C.
Tujuan
Pembahasan
Tujuan
penulisan makalah ini selain sebagai syarat mengikuti LK II HMI Cabang Medan,
juga sebagai pengetahuan bagi pembaca terhadap bagaimana Etika Islam dalam
menyikapi perbedaan agama demi terlaksananya revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika
sebagai pendorong semangat kebangsaan dan memperkokoh persatuan dalam NKRI.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Etika
Islam
1.
Pengertian
Etika
Menurut bahasa (etimologi) istilah etika
berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos
yang berarti adat istiadat (kebiasaan), perasaan
bathin, kecendrungan hati untuk melakukan perbuatan. Dalam kajian filsafat, etika merupakan bagian dari filsafat yang mencakup metafisika, kosmologi,
psikologi, logika, hukum,
sosiologi, ilmu sejarah, dan estetika. Etika juga mengajarkan tentang keluhuran
budi baik – buruk.
Kata etos dalam bahasa Indonesia
ternyata juga cukup banyak dipakai, misalnya dalam kombinasi etos kerja, etos
profesi, etos imajinasi, etos dedikasi, etos kinerja dan masih banyak istilah
lainnya. Etika termasuk ilmu pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku yang berarti juga:
a. Ilmu tentang
apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak - hak dan kewajiban.
b. Kumpulan
asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia.
c. Nilai mengenai
benar atau salah, halal-haram,
sah-batal, baik-buruk, dan kebiasaan-kebiasaan
yang dianut suatu golongan masyarakat.
Etika
dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala soal kebaikan
dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat
merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannyan yang dapat merupakan
perbuatan. Ilmu etika ini tidak membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan
tata adab, melainkan membahas tata sifat-sifat dasar, atau adat istiadat yang
terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah laku manusia. Jadi, etika
menggunakan refleksi dan metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai
itu sendiri ke dalam etika dan menerapkan pada situasi kehidupan konkret[1].
Ilmu etika juga sudah disebut-sebut
sejak zaman Sokrates (470-399 SM). Ia berpendapat bahwa etika membahas
baik-buruk, benar-salah dalam tingkah laku, tindakan manusia, dan menyoroti
kewajiban-kewajiban manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat
dan bertindak. Pengertian etika juga dapat diartikan dengan membedakan tiga
arti dari penjelasan etika yaitu :
a. Etika
membahas ilmu yang mempersoalkan tentang perbuatan-perbuatan manusia mulai dari
yang terbaik sampai kepada yang terburuk dan pelanggaran-pelanggaran hak dan
kewajiban[2].
b. Etika
membahas masalah-masalah nilai tingkah laku manusia mulai dari tidur, kegiatan
siang hari, istirahat, sampai tidur kembali; dimulai dari bayi hingga dewasa,
tua renta dan sampai wafat[3].
c. Etika
membahas adat istiadat suatu tempat, mengenai benar salah kebiasaan yang dianut
suatu golongan atau masyarakat baik masyarakat primitif, perdesaan, perkotaan hingga masyarakat modern[4].
Menurut
istilah (terminologi) para ahli
berbeda-beda pendapat mengenai defenisi etika yang sesungguhnya. Berikut ini
kami hadirkan beberapa pendapat para ahli tentang etika tersebut:
a. Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh
manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan
mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat[5].
b. Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai
filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai
dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
c. Lewis Mustafa Adam mengartikan etika sebagai ilmu
tentang filsafat, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak
mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya.
d. M. Amin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang
mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi, bisa dikatakan etika berfungsi
sebagai teori perbuatan baik dan buruk (ethics
atau ‘ilm al-akhlak al-karimah),
prakteknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.Asmaran AS mengartikan etika
sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai
perbuatan tersebut baik atau buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya
adalah akal pikiran[6].
Jadi, etika adalah sikap kritis setiap pribadi dan kelompok
masyarakat dalam merealisasikan moralitas itu. Karena Etika adalah refleksi
kritis terhadap moralitas, maka etika tidak bermaksud untuk membuat orang
bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja. Etika memang
pada akhirnya menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas, tetapi
bukan karena tindakan itu diperintahkan oleh moralitas (nenek moyang, orang
tua, guru), melainkan karena ia sendiri tahu bahwa hal itu memang baik baginya.
Sadar secara kritis dan rasional bahwa ia memang sudah sepantasnya bertindak
seperti itu. Etika
berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan
heteronom. Etika
bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat
dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan
pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggung jawabkan
tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan
yang kuat mengapa ia bertindak begitu atau begini.
2.
Etika
dalam pandangan Islam
Etika
merupakan ilmu yang mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang
baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk sesuai dengan ajaran
islam yang tidak bertentangan dengan alquran dan hadist. Etika dalam islam
mengatur, mengarahkan fitrah manusia dan meluruskan perbuatan manusia dibawah
pancaran sinar petunjuk Allah SWT., menuju keridhaan–Nya. Dengan melaksanakan
etika islam niscaya selamatlah diri manusia dari pikiran-pikiran dan
perbuatan-perbuatan yang keliru lagi menyesatkan. Etika dalam islam ini
mengandung berbagai manfaat, karena itu mempelajari ilmu etika ini dapat
membuahkan hikmah yang sangat besar[7].
Etika dalam
Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia
dalam hubungan sosial dan untuk mengabdi kepada Allah SWT., tanpa ada pamrih
didalamnya. Disinilah peran orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak
agar mampu memahami hidup dan menyikapi dengan bijak, sebagaimana Islam lahir
ke bumi membawa kedamaian untuk alam semesta (rahmatan lilalamin)
Berdasarkan
petunjuk Al-quran dan hadits nabi maka etika merupakan bukti dari pengangkatan
Nabi Muhammad SAW, dimana beliau mempunyai etika yang terpuji, terpilih,
sebagaimana Al-quran menyatakan dalam surah Al-Qalaam ayat 4:
Artinya : dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.
Dan dalam
hadist nabi disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya
aku Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia ” (HR. Achmad
dan Malik).
Dari dalil
diatas, maka etika dalam Islam dituntun oleh Al-Quran dan contoh dari perbuatan
Nabi Muhammad, maka disini pula seseorang akan dinilai baik dan buruk
perbuatannya, apakah sesuai dengan tuntunan agama atau tidak[8].
B.
Bhinneka
Tunggal Ika sebagai Perekat Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
1.
Pengertian
Bhinneka Tunggal Ika
Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan
pertama kali oleh Mpu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup
pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389).
Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna
ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda
itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian
dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu
untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat
Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap
satu dalam pengabdian[9].
Bhinneka Tunggal Ika dijadikan
semboyan bangsa indonesia dalam mempersatu bangsa indonesia yang multikultural.
Keragaman yang ada di Indonesia, baik itu keragaman suku, adat istiadat, agama
dan kepercayaan, serta keragaman bahasa, maka disatupadukan dalam semboyan
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu.
2.
Bhinneka
Tunggal Ika, Ciri Multikulturalisme
Bangsa
Keberagaman budaya Indonesia
dilengkapi oleh keberagaman lain yang ada pada tatanan hidup masyarakat baik
perbedaan ras, agama, bahasa, dan golongan politik yang terhimpun dalam suatu
ideologi bersama yaitu Pancasila dan Bhinneka
Tunggal Ika. Persatuan dikembangkan
atas dasar bhinneka tunggal ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan
kemajuan bangsa. Sehingga semboyan Bhinneka
Tunggal Ika bukan hanya suatu slogan, tetapi merupakan pemersatu bangsa
Indonesia. Keberagaman bangsa berlangsung berabad-abad lamanya, sehingga
Indonesia ttumbuh dalam suatu keragaman yang kompleks.
Sebagai kalimat bijak, Bhinneka Tunggal Ika memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan
perbedaan. Namun, hal ini harus didukung oleh kesadaran kita sebagai masyarakat
Indonesia yang mampu mewujudkan kalimat bijak tersebut dalam bingkai kesatuan
tanah air.
Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat
Indonesia telah menyadari kemajemukan, multietnik dan multi-agamanya sejak
dulu. Kesadaran akan kebhinnekaan ini kemuadian dibangkitkan kembali pada masa
perjuangan kemerdekaan untuk menggali semangat persatuan bangsa Indonesia yang
ketika itu sedang menanggung penjajahan kolonial. Penjajahan kolonial
memberikan rasa senasib sepenanggungan akan keadaan bangsa yang penuh dengan
keterbelakangan. Muncul gagasan dan gerakan-gerakan perlawanan hingga kongres
Sumpah Pemuda pun terlaksana sebagai inisiatif pemuda indonesia ketika itu.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang
tertulis pada lambang negara Garuda Pancasila, harus teraktualisasi dalam
kehidupan nyata di masyarrakat Indonesia dengan lebih baik.
Kesadaran akan perbedaan harus
disikapi seperti tubuh manusia yang ketika salah satu merasakan sakit yang
lainnya akan ikut merasakan. keragaman masyarakat meningkatkan mutu hidup, dengan
memperkaya pengalaman kita, memperluas sumberdaya budaya.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna persaudaraan harus
disosialisasikan kepada seluruh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang ada
seperti lembaga pemerintah, swasta, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga
keagamaan, lembaga kepemudaan, agar tebangun hidup yang rukun, damai, aman,
toleran, saling menghormati, bekerjasama, bergotong-royong dalam rangka
persatuan dan kesatuan bangsa[10].
3.
Implementasi
Bhinneka Tunggal Ika
Implementasi
Bhinneka Tunggal Ika adalah sebagai berikut :
a.
Prilaku
Inklusif
Dalam
kehidupan bersama yang menerapkan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya,
baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya
merupakan sebagian dari kekuatan masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan
penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan
menyepelekan kelompok lain.
Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna
bagi kehidupan bersama.
b.
Mengakomodasi
Sifat Pluralistik
Bangsa
Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh
masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan
bahasanya masing-masing, yang menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah
demikian jauh dari pulau satu ke pulau yang lain. Tanpa stimemahami makna
pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara
tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling
menghormati, menundukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, hakikat dan
martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi
menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi
lestarinya negara dan bangsa Indonesia[11].
c.
Tidak
mencari kemenangan sendiri
Menghormati
pendapat orang lain dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang
paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam
menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan
hal yang harus dikembangkan dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak
untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan
divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari
berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai
mufakat.
d.
Musyawarah
untuk Mencapai Mufakat
Dalam
rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyarah
dalam mencapai mufakat”. Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan
kesepakatan bersama, tetapi common
denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama.
Hal ini hanya akan dicapai melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat.
Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan.
e.
Dilandasi
rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam
menerapkan bhinneka tunggal ika dalam klehidupan berbangsa dan bernegara perlu
dilandasi oleh rasa kasih sayang. Tanpa ada rasa curiga mencurigai. Yang harus
dikembangkan adalah rasa percaya mempercayai. Iri hati, dengki harus dibuang
jauh dari kamus bhinneka tunggal ika.
C.
Kebangsaan
dan NKRI
1.
Kebangsaan
a.
Pengertian
kebangsaan
Definisi
bangsa menurut paham bangsa Indonesia tertuang berdasarkan isi Sumpah Pemuda. Adanya
unsur masyarakat yang membentuk bangsa yaitu: berbagai suku, adat istiadat,
kebudayaan, agama, serta berdiam di suatu wilayah yang terdiri atas beribu-ribu
pulau. Selanjutnya bangsa juga mempunyai kepengtingan yang sama dengan
individu, keluarga, maupun masyarakat yaitu tetap eksis dan sejahtera. Salah
satu persoalan yang timbul dari bangsa adalah ancaman disintegrasi dan yang
palingmenjadi penyebab utama biasanya perbedaan persepsi pada upaya masyarakat
yang ingin “merekatkan diri lebih ke dalam”, yaitu ingin mempertahanan pola[12].
Oleh karena itu pada bangsa yang baru merdeka atau berdiri diupayakan memiliki
alat perekat yang berasal dari budaya masyarakat.Pada perkembangannya perekat
ini dikenal sebagai ideologi yang hendaknya dipahami oleh bangsa itu sendiri.
Jadi, dapat
disimpulkan bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas yang terbentuk persamaan
bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara, dan kewarganegaraan yang saling
merekatkan satu dengan yang lain. Jadi pengertian kebangsaan adalah segala sesuatu
yang berkaitan dengan identitas suatu bangsa mulai dari semangat membela
bangsa, sikap cinta akan tanah air hingga ideology yang hidup dalam suatu
bangsa.
b.
Semangat
Kebangsaan
Proklamasi
dan revolusi kemerdekaan pada hakikatnya merupakan manifestasi dan kemampuan
rakyat Indonesia. Manifestasi dan kemampuan rakyat Indonesia khususnya angkatan
1945, telah membangkitkan kekuatan dan daya cipta yang mampu menempatkan bangsa
Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Jiwa
semangat kebangsaan merupakan sumber kehidupan bagi perjuangan bangsa Indonesia
yang berisi kekuatan batin dalam merebut kemerdekaan, menegakkan kedaulatan
rakyat, serta mengisi dan mempertahankannya. Adapun hal-hal yang terkandung
dalam jiwa semangat kebangsaan[13]
adalah sebagai berikut.
1)
Pro Patria dan Primus Patiralis, artinya mencintai
tanah air dan mendahulukan kepentingan tanah air.
2) Jiwa
solidaritas dan kesetiakawanan dari semua lapisan masyarakat terhadap
perjuangan kemerdekaan.
3) Jiwa
toleransi atau tenggang rasa antaragama, antarsuku, antargolongan, dan
antarbangsa.
4) Jiwa tanpa
pamrih dan bertanggung jawab.
5) Jiwa ksatria
dan kebesaran jiwa yang tidak mengandung balas dendam.\
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam semangat
kebangsaan sebagai perwujudan keikhlasan, yaitu sebagai berikut:
1) Semangat
menentang dominasi asing dalam segala bentuknya, terutama penjajahan dari suatu
bangsa terhadap bangsa lain
2) Semangat
pengorbanan seperti pengorbanan harta benda jiwa raga.
3) Semangat
tahan derita dan tahan uji.
4)
Semangat kepahlawanan
5)
Semangat persatuan dan kesatuan
6) Percaya pada
diri sendiri.
Selain itu, jiwa dan nilai-nilai semangat kebangsaan
dapat pula diuraikan dalam nilai-nilai dasar dan nilai-nilai operasional.
Nilai-nilai dasar meliputi semua nilai yang terdapat dalam setiap sila dari
Pancasila dan semua nilai yang terdapat dalam proklamasi kemerdekaan. Adapun
nilai-nilai operasional adalah nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam
perjuangan bangsa Indonesia. Nilai-nilai operasional merupakan landasan yang
kokoh dan daya dorong mental spiritual yang kuat dalam setiap tahap perjuangan
bangsa.
Nilai-nilai
operasional tersebut[14],
antara lain:
1) Ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2) Jiwa dan
semangat merdeka
3) Nasionalisme
4) Patriotisme
5) Rasa harga
diri sebagai bangsa yang merdeka.
6) Pantang
mundur dan tidak kenal menyerah;
7) Persatuan
dan kesatuan;
8) Anti
penjajah dan penjajahan;
9) Percaya
kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya;
10) Idealism
kejuangan yang tinggi;
11) Berani,
rala, dan ikhlas, berkorban untuk tanah air, bangsa dan Negara;
12) Kepahlawanan;
13) Kesetiakawanan,
senasib, sepenanggungan, dan kebersamaan;
14) Disiplin
yang tinggi;
15) Ulet dan
tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.
c. Revitalisasi
Paham Kebangsaan
Hanya karena kemerdekaan telah
tercapai, dan kebangsaan Indonesia telah menjadi kenyataan, belakangan ini
seolah-olah terasa kuno apabila kita membicarakan relevansi nasionalisme atau
paham kebangsaan tersebut. Orang pun lantas lebih suka memakai terminologi
pluralisme atau cara pandang yang menghormati keanekaragaman atau pluralitas
kita sebagai bangsa.
Padahal
pluralisme itu secara substansi tak ada bedanya dengan cara pandang kebangsaan
atau nasionalisme. Hanya masalah aksentuasinya saja yang agak berbeda.
Nasionalisme secara langsung dikaitkan dengan eksistensi kita sebagai bangsa
Indonesia, sedangkan pluralisme lebih sering dikaitkan dengan masalah hak asasi
manusia atau sila ketuhanan dan kemanusiaan dalam Pancasila. Akan tetapi
keduanya sebenarnya sama-sama mengapresiasi keragaman sebagai sebuah
keniscayaan.
Yang penting digarisbawahi adalah baik
paham kebangsaan maupun pluralisme mestinya disebarkan ke dalam benak
masyarakat sebagai sebuah kesadaran atau pengetahuan, bukan dengan paksaan.
Sebab ketika kebangsaan atau pluralisme diaplikasikan dengan paksaan (koersif)
atau malah kekerasan (violence), maka ia menjadi proyek yang bersifat
otoritarian dan tidak demokratis. Kebangsaan bila dipaksakan secara top-down
hasilnya adalah penyeragaman ala proyek asas tunggal yang meminggirkan
keragaman warga bangsa atau penciptaaan hantu SARA oleh Orde Baru yang
menakut-nakuti rakyat akan perbedaan.
Sementara jika pluralisme dipaksakan
terhadap entitas-entitas primordial yang homogen, maka justru akan meniadakan
kekhasan masing-masing kelompok yang mestinya memang beragam atau berbeda
antara satu dengan yang lain. Kelompok-kelompok yang secara internal relatif
homogen seperti Gereja Katolik, Muhammadiyah, atau perkumpulan warga keturunan
etnis Tionghoa, misalnya, tidak perlu ditekan untuk mempluralkan dirinya sendiri.
Yang penting ialah adanya kesadaran mereka untuk menghormati pluralitas yang
merupakan fakta tak terbantahkan dari kondisi alamiah bangsa Indonesia.
Maka, pluralisme atau nasionalisme
yang dikembangkan –untuk tetap menjaga tegaknya negara kebangsaan Indonesia
secara sehat dan alamiah—, mestinya ialah pluralisme dan nasionalisme yang
bersifat partisipatif atau demokratis. Dengan kata lain, harus menghormati
semua entitas yang homogen atau berbeda tetap dalam homogenitas atau
perbedaannya, namun seiring dengan itu kita mendorong entitas-entitas ini
menjadi apresiatif terhadap kekhasan entitas lainnya sekaligus apresiatif
terhadap kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.
Artinya, kita melakukan desiminasi
bahwa Indonesia sebagai lebensraum (ruang hidup bersama) di satu sisi
menenggang keragaman berbagai unsur pembentuk bangsa untuk tetap memelihara
kekhasannya masing-masing, namun di sisi lain juga menuntut penghormatan atas
spirit kesatuan atau kebersamaan sebagai satu bangsa yang sama. Dengan demikian,
maka nasionalisme –atau bahasa masa kininya pluralisme— akan mampu menyediakan
dirinya menjadi payung yang mengayomi keragaman kita sebagai bangsa, sekaligus
menjamin kesatuan kita sebagai negara bangsa atau satu kekuatan nasional.
Dengan kata lain, menjamin tegaknya Indonesia sebagai suatu rumah kebangsaan
bagi beragam entitas bangsa yang berbeda-beda tapi memiliki spirit
keindonesiaan yang sama.
2. NKRI (Negar
Kesatuan Republik Indonesia)
Syarat berdirinya
sebuah negara ada empat, yaitu memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki
pemerintahan dan adanya pengakuan dari negara lain. Dan karena memenuhi empat
syarat itulah kemudian Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Mengapa NKRI?
Karena ini merupakan bentuk dari negara Indonesia, dimana negara
Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain itu juga bentuk negaranya
adalah republic. Walaupun negara Indonesia terdiri dari banyak pulau, tetapi
tetap merupakan suatu kesatuan dalam sebuah negara dan bangsa yang bernama
Indonesia.
Para pendiri bangsa
(the founding fathers) sepakat memilih bentuk negara kesatuan karena bentuk
negara kesatuan itu dipandang paling cocok bagi bangsa Indonesia yang memiliki
berbagai keanekaragaman, untuk mewujudkan paham negara integralistik
(persatuan) yaitu negara hendak mengatasi segala paham individu atau golongan
dan negara mengutamakan kepentingan umum[15].
NKRI lahir dari
pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang bertekad
mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI adalah prinsip pokok, hukum,
dan harga mati.
NKRI hanya dapat
dipertahankan apabila pemerintahan adil, tegas, dan berwibawa. Dengan
pemerintahan yang adil, tegas, dan berwibawalah masalah dan konflik di
Indonesia dapat diselesaikan.
1.
NKRI, Negara Kebangsaan yang Berkerakyatan
Negara menurut filsafat pancasila
adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Hakikat rakyat adalah sekelompok manusia
yang bersatu yang memiliki tujuan tertentu dan hidup dalam satu wilayah negara.
Di berbagai negara, sistem demokrasi diterapkan misalnya Perdana Menteri
dipilih oleh parlemen. Berdasarkan berbagai teori dan konsep pemikiran
demokrasi dan praktis demokrasi, maka demokrasi seyogyanya dipahami dan
perspektif yang komprehensif, yaitu meliputi aspek filosofis, normatif, dan
praktis. Aspek filosofis menyangkut dasar filosofis demokrasi yang menjadi
dasar hakikat sesuai dengan landasan ontologis. Aspek normatif menyangkut
bagaimana norma-norma sebagai asa dan aturan dalam demokrasi dikembangkan
berlandaskan dasar filosofis masyarakat, bangsa, dan negara.
2.
NKRI,
Negara Kebangsaan yang Berkeadilan Sosial
Negara Pancasila adalah negara
kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara sebagai
penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sifat kodrat individu
dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidup
bersama (Keadilan Sosial). Dalam hidup bersama baik dalam masyarakat, bangsa,
dan negara harus terwujud suatu keadilan
(Keadilan Sosial), yang meliputi tiga hal yaitu:
a.
Keadilan
Distributif (keadilan membagi), yaitu negara terhadap warganya.
b.
Keadilan
Legal (keadilan bertaat), yaitu warga terhadap negaranya untuk mentaati
peraturan perundangan, dan
c.
Keadilan
Komutatif (keadilan antar sesama
warga negara), yaitu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara
timbal balik.
Dalam realisasinya Pembangunan
Nasional adalah suatu upaya untuk mencapai tujuan negara, sehingga Pembangunan
Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan sebagai dasar operasional
serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam pemerintahan negara.
Dalam realisasinya pemerintah mengembangkan Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang
Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam
Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah Pusat memberikan otonomi
yang seluas-luasnya dalam mengatur dan menjalankan roda pemerintahan daerah
masing-masing, dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan
daya saing daerah.
Berdasarkan asas keadilan sebagaimana
terkandung dalam sila kelima Pancasila, seharusnya tidak meninggalkan hakikat
negara persatuan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, karena praktek otonomi daerah yang
tidak mendasarkan pada prinsip negara persatuan dewasa ini menimbukan
disparitas di bidang ekonomi, sosial, politik bahkan kebudayaan. Prinsipnya
berdasarkan sila kelima Pancasila, prinsip demokrasi melalui otonomi daerah
harus tetap diarahkan pada tujuan pokok negara yaitu kesejahteraan seluruh
rakyat dan tetap meletakkan pada prinsip persatuan.
3.
Tujuan NKRI
Tujuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar
1945 alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu
pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan
nasional/Negara yang ingin dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus
dilaksanakan oleh Negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
1. Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Memajukan
kesejahteraan umum;
3. Mencerdaskan
kehidupan bangsa;
4.
Ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Upaya untuk Menumbuhkan Kembali
Nasionalisme Bangsa
a. Peran
Keluarga
1) Memberikan
pendidikan sejak dini tentang sikap nasionalisme dan patriotism terhadap bangsa
Indonesia.
2) Memberikan
contoh atau tauladan tentang rasa kecintaan dan penghormatan pada bangsa.
3) Memberikan
pengawasan yang menyeluruh kepada anak terhadap lingkungan sekitar.
4) Selalu
menggunakan produk dalam negeri.
b. Peran
Pendidikan
1) Memberikan
pelajaran tentang pendidikan pancasila dan kewarganegaraan dan juga bela
Negara.
2) Menanamkan
sikap cinta tanah air dan menghormati jasa pahlawan dengan mengadakan upacara
setiap hari senin dan upacara hari besar nasional.
3) Memberikan
pendidikan moral, sehingga para pemuda tidak mudah menyerap hal-hal negatif
yang dapat mengancam ketahanan nasional.
4) Melatih
untuk aktif berorganisasi.
c. Peran
Pemerintah
1) Menggalakan
berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan rasa nasionalisme, seperti seminar
dan pameran kebudayaan.
2) Mewajibkan
pemakaian batik kepada pegawai negeri sipil setiap hari jum’at. Hal ini
dilakukan karena batik merupakan sebuah kebudayaan asli Indonesia, yang
diharapkan dengan kebijakan tersebut dapat meningkatkan rasa nasionalisme dan
patrotisme bangsa.
3) Lebih
mendengarkan dan menghargai aspirasi pemuda untuk membangun Indonesia agar
lebih baik lagi.
Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan
kita harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya
seabad yang lalu. Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah
nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi berbagaipermasalahan, bagaimana
bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak
korupsi, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi
mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total.
D.
Implementasi Etika Islam dalam Revitalisasi Semangat
Kebhinnekaan
Kedatangan bangsa-bangsa dunia ke
nusantara berabad-abad yang lalu, memberi warna khusus bagi perjalanan sejarah
negeri ini. Sebagai pusat interaksi dagang internasional kala itu, nusantara
terbuka untuk menampung keragaman yang sempat singgah, bahkan menjadikannya
sebagai bagian utuh dari terbentuknya negara-bangsa bernama Indonesia.
Salah satunya Islam, yang kelak
menjadi entitas religius terbesar di negeri ini. Menurut berita Cina Dinasti
Tang, diungkapkan oleh Buya Hamka bahwa islam masuk ke nusantara pada abad
ke-7, dibawa oleh wirausahawan Arab yang dibekali dengan ilmu agama Islam yang
menjelajah ke pantai barat sumatera. Selanjutnya, Islam berkembang dan
membangun peradaban baru, bermunculanlah kerajaan-kerajaan Islam, dan di
kemudian hari membentuk sistem masyarakat secara kultural berbasis Islam hingga
saat ini.
Sebagai negara yang terlahir dari
pergolakan dan perjuangan, kemerdekaan dan terbentuknya Indonesia dipengaruhi
banyak oleh eksistensi dan pergerakan islam. Konsepsi Jihad kabangsaan melawan
penjajah oleh pejuang muslim di masa lalu, memberikan gambaran utuh bahwa islam
hadir sebagai pembentuk nasionalisme, atau lebih tepatnya cikal-bakal semangat
kebangsaan. Karena dalam Islam sendiri, mencintai tanah air merupakan bagian
dari ajaran Islam.
Pasca merdeka, kearifan masyarakat
Indonesia dirangkum dalam sebuah wadah ideologis, berkat konsensus para the founding fathers, maka lahirlah
Pancasila. Selain sebagai ideologis, juga sebagai falsafah dan pandangan hidup
kebangsaan. Falsafah inilah selanjutnya menjadi landasan bergerak dalam
berbangsa dan bernegara. Butir-butir sila Pancasila menggambarkan bahwa bangsa
ini memiliki semangat dan cita-cita besar bagi peradaban dunia yang
berketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Lima butir sila
ini, secara berurutan, selaras dengan konsepsi keislaman yang mengajarkan:
fondasi tauhid, konsepsi akhlak dan keberadaban, prinsip persaudaraan dan
persatuan, prinsip musyawarah, dan cita-cita keadilan dan kemakmuran. Dalam
sejarahnya, islam memiliki peran strategis dalam membangun semangat perjuangan
menghadapi kolonialisme sekaligus sebagai faktor pemersatu bangsa.
“Islam itu sesungguhnya lebih dari
satu sistem agama saja, dia adalah satu kebudayan yang lengkap” – begitulah
yang diungkapkan oleh sejarawan Prof. H.A.R. Gibb. Sebagai sebuah sistem yang
syumul, Islam menyentuh seluruh bidang kehidupan masyarakat, termasuk dalam
menumbuhkann semangat kebangsaan. Sehingga tidak ada irisan antara Islam dan
keindonesiaan, ia berada dalam satu paket yang sistemik antara nasionalisme dan
islamisme.
Kita menyadari, perdebatan antara
Islam dan nasionalisme terus digulirkan oleh kelompok-kelompok fundamentalis
dari sisi kanan, di sisi berlawanan juga dilakukan oleh kelompok sekularis.
Seolah islam dan semangat kebangsaan adalah sesuatu yang debatabel dan
irrelevan. Padahal para pendiri bangsa ini, seperti Moh. Natsir menekankan
bahwa keadaan sekulerisme tidak mampu memberi pegangan hidup dan keseimbangan
hidup, baik bagi orang perseorangan ataupun bagi suatu bangsa.
Sudah saatnya kita merekonstruksi
spirit kebangsaan dengan menjadikan islam sebagai penyokong. Dengan memberi
penjelasan utuh melalui pendidikan kultural bahwa segala gerak kehidupan
kebangsaan kita berasaskan nilai-nilai keislaman. Selanjutnya, peran para
pemimpin bangsa sangat diperlukan dalam membangun prototype negarawan yang islami
juga nasionalis. Dengan begitu, Islam dan semangat kebangsaan akan menjadi
budaya masyarakat sekaligus model bagi kepemimpinan nasional[16].
Dalam menjaga keutuhan NKRI dalam
semboyan bhinneka tunggal ika,
Islam mengajarkan sikap toleransi antar umat beragama.
Islam dalam menyikapi perbedaan dalam agama, hal
yang harus diperhatikan yaitu mengenai Toleransi.
1. Toleransi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,
toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh)
yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih
diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan
emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminology),
toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang
berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
Jadi, toleransi beragama adalah ialah
sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama
atau system keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Toleransi
mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan,
baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya,
bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah
menjadi ketetapan Allah.
2.
Toleransi
dalam Islam
Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan
sebagian kaum muslimin sungguh sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut
ulama mengajak umat untuk turut serta dan berucap selamat pada perayaan non
muslim. Namun Islam tidaklah mengajarkan demikian. Prinsip toleransi yang
diajarkan Islam adalah membiarkan umat lain untuk beribadah dan berhari raya
tanpa mengusik mereka. Senyatanya, prinsip toleransi yang diyakini sebagian
orang berasal dari kafir Quraisy di mana mereka pernah berkata pada Nabi kita
Muhammad SAW;
“Wahai Muhammad, bagaimana kalau
kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan
kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada
sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan
agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami
yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir
Al Qurthubi, 14: 425).
Mengenai perintah toleransi ini,
Allah berfirman:
Artinya
: Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama
dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan
sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu
dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa
menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Ayat ini
mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah setip muslim berbuat baik pada
yang lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama. Ibnu Katsir
rahimahumullah berkata : “ Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non
muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang
yang lemah diantara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah
menyukai orang yang berbuat adil”. Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahumullah
mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil disini berlaku kepada setiap
agama.
Mengenai bagaimana cara seorang muslim bertoleransi, Allah SWT telah
menjelaskan dalam Al-quran surat Al-Kaafirun ayat 1-6 :
Artinya: Katakanlah: "Hai orang-orang kafir.
aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan
yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,
dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. bagimu
agamamu, dan bagiku, agamaku."
Begitulah Islam
mengajarkan umatnya dalam toleransi. Tidak ada keraguan lagi, bahwa setiap
muslim wajib mengharagi umat agama lain dalam perihal agama mereka. Namun
demikian, Islam sangat melarang umatnya ikut serta dalam hal agama lain,
seperti contohnya memberi ucapan selamat atas hari raya umat non muslim. Karena
menurut islam, hal itu sama dengan mengakui agama mereka dan mengakui bahwa
Tuhan yang mereka imani benar-benar Tuhan pencipta alam dan seisinya.
Dari pembahasan diatas,
jelaslah bahwa agama Islam sangat mendukung semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
Bagaimana Islam mewajibkan umatnya untuk selalu menghargai keyakinan agama lain
tanpa mencampuri apalagi menggaggu umat agama lain dalam ibadahnya. Sehingga
terciptalah sikap saling menghargai dan terciptanya persatuan dan kesatuan
bangsa. Tinggal bagaimana umat Islam dalam memahami perintah toleransi tersebut
serta memahami arti dari bhinneka tunggal ika itu sendiri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Etika merupakan sesuatu yang lahir
dari hati dan fikiran seseorang dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan
maupun ucapan. Setiap tingkah laku manusia yang disandarkan pada nilai-nilai
yang ada dalam masyarakat.
Masyarakat multikultural di Indonesia
harus memiliki etika yang baik terhadap sesamanya. Tidak mengedepankan
perbedaan tetapi tetap berada dalam semangat NKRI melaui satu semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan disatukan dalam lingkaran
NKRI demi terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan sebelumnya.
Secara mayoritas masyarakat Indonesia
adalah pemeluk agama Islam, dan diharapkan menanamkan nilai-nilai Islam yang
fundamental kepada setiap individunya. maka Islam mengajarkan bagaimana seorang
muslim beretika sesuai dengan tuntunan syariat islam. Sehingga bagaimana etika
seorang muslim terhadap keberagaman yang ada di Indonesia ini dapat menjadi
energi sosial.
Sikap seorang muslim terhadap agama
lain ialah harus tertanamnya sikap toleransi. Toleransi dalam Islam adalah
sikap menghargai, tidak megusik dan mengganggu uamat agama lain dalam
peribadatan mereka. Kare Allah SWT., memerintahkan kepada setiap umat Islam
harus berlaku baik kepada sesama saudaranya muslim dan kepada umat beragama
lain. Sehingga terciptalah kedamaian dan kesejahteraan umat, meredam
konflik-konflik yang terjadi dan mengubahnya menjadi energi sosial seperti yang
disematkan kedalam semboyan Bhinneka
Tunggal Ika walaupun berbede-beda tetapi tetap satu.
B.
Saran
Berdasarka makalah ini penulis
memberikan beberapa masukan mengenai etika umat Islam dalam menyikapi perbedaan
agama di Indonesia yaitu, Setiap Umat Islam wajib mengedapankan sikap toleransi
terhadap umat agama lain, tidak mengedepankan kepentingan individu dan kelompok
dalam persoalan bersama. Dan selalu berbuat baik, baik kepada sesama muslim
maupun kepada umat agama lain demi terciptanya kesatuan dan persatuan dalam
NKRI.
Kemudian, penulis juga mengarapkan
kritikan dan saran pembaca demi menyempurnakan penulisan makalah ini. Karena
penulis menyadari sedikit banyaknya kekurangan dalam penulisan dan jauh dari
kesempurnaan.
DAFTAR PUSTAKA
Rapar, Jan
Hendrik.. Pengantar Ilmu filsafat. Yogyakarta:
Kanisius, Pus Wilayah; 1996
AR, Zahrudin.
Pengantar Study Akhlak. Jakarta: Raja
Grafindo Persada; 2003
Bertens, K. Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada;
2003
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak), Terj. KH Farid
Ma’ruf. Jakarta : Bulan Bintang;1983
Al-Hakim,
Suparlan, dik. Pendidikan Kewarganegaraan
dalam Konteks Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang; 2012
Kusuma, Erwin
dan Khairul. Pancasila dan
Islam. Jakarta: Baur Publishing; 2008
AS, Asmaran..
Pengantar Study Akhlak. Jakarta: Raja
Grafindo Persada; 1992
Abdullah, M.
Yatim. Pengantar Study Etika. Jakarta:
Raja Grafindo Persada; 2006
Mathar, M.
Qasim. Sejarah, Teologi dan Etika
Agama-agama. Yogyakarta: Interfidei; 2005
Lestari,
Gina. Bhinneka Tunggal Ika : Khasanah
Multikultural Indonesia ditengah Kehidupan SARA. Yogyakarta: Universitas
Gajah Mada; 2005
Winataputra,
Udin S. Multikulturalisme Bhinneka
Tunggal Ika dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan
Kerakter Bangsa Indonesia. 2009
Urbaningrum,
Anas. Islamo-Demokrasi : Pemikiran
Nurcholis Majid. Jakarta: Republika; 2004
Suprapto. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara. Jakarta: LPPKB; 2007
Srijanti,. H,
I, Rahman, A,. S, K, Purwanto,. Etika
Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta:
Salemba Empat; 2007
Santoso,
Listiono. Revitalisasi Nilai-nilai
Pancasila di Tengah Gaya Hidup Pragmatis dan Individualistik; 2009
Al-Hakim,
Suparlan. Pendidikan Kewarganegaraan
dalam konteks Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang; 2012
Kusuma,
Erwin., Khairul. Pancasila dan Islam. Jakarta:
Baur Publishing; 2008
[1] Jan
Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah,
1996), hlm. 62
[2] Juhaya
S. Praja. Filsafat dan Etika (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 59
[3] Zahrudin
AR. Pengantar Study Akhlak (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003) hlm. 43
[4] K.
Bertens. Etika (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2000), hlm. 231
[5] Ahmad
Amin. Etika (Ilmu Akhlak), Terj, KH
Farid Ma’ruf, Judul asli Al-Akhlak,
Cet 3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 3
[6] Asmaran
AS. Pengantar Study Akhlak (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1992), hlm. 7
[7] M
Yatimin Abdullah, Pengantar Study Etika (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 10
[8] M Qasim
Mathar, Sejarah, Teologi dan Etika
Agama-agama (Yogyakarta Interfidei , 2005), hlm. 270
[9] Gina
Lestari, “Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah
Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan SARA” (Universitas GajahMada:
Yogyakarta,2015), hlm.3
[10] Dr Udin
S.Winataputra,M.A. 2009. Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal IKa dalam
Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter
Bangsa Indonesia, hlm 5
[11] Anas
Urbaningrum. Islamo-demokrasi: Pemikiran Nurcholis Majid. (Jakarta:
Republika,2004), hlm 147
[12] Soeprapto, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.( LPPKB, Jakarta,
2007).hlm 12
[13]
Srijanti, A. Rahman H. I, Purwanto S. K., “Etika Berwarga Negara: Pendidikan Keewarganegaraan di Perguruan
Tinggi” (Jakarta: Salemba Empat,2007). hlm,24
[14]
Listiyono Santoso. 2009 Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila di Tengah Gaya Hidup
Pragmatis dan Individualistik, hlm.12
[15]
Suparlan Al-hakim, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia, (Malang:
Universitas Negeri Malang, 2012), hlm 9
[16] Erwin
Kusuma dan Khairul,. Pancasila dan Islam, (Jakarta : Baur Publishing,2008), hlm
24
No comments:
Post a Comment