Makalah LK 2 HMI By_Sepri Gunanda - HMI Cabang Bukittinggi Badko Sumbar

MAKALAH

Etika Islam dalam Menyikapi Perbedaan Agama Demi Terlaksanaya Revitalisasi Kebhinnekaan sebagai Pendorong Semangat Kebangsaan dan Memperkokoh NKRI
(TEMA : H)

Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Intermediate Training (LK II)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Medan




Oleh:
SEPRI GUNANDA


HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI)
KOMISARIAT EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
CABANG BUKITTINGGI
2017







KATA PENGANTAR

            Puji Syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT.  atas limpahan rahmat-Nyalah saya dapat menyelesaikan makalah ini.
            Berikut penulis mempersembahkan makalah sebagai syarat mengikuti Intermediate Training (LK-II) HMI Cabang Medan dengan judul “Etika Islam dalam Menyikapi Perbedaan Agama Demi Terlaksananya Revitalisasi Kebhinnekaan sebagai Pendorong Semangat Kebangsaan dan Memperkokoh NKRI” yang menurut saya menjadi hal yang urgen bagi kita untuk dibahas.
            Melalui kata pengantar ini, penulis terlebih dahulu mohon maaf bila dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan dan terdapat kesalahan. Dan saya mengharapkan kritikan dan saran kepada pembaca agar dapat menyempurnakan isi makalah ini sehingga dapat bermanfaat.




Bukittinggi, 9 Januari 2017


Penulis            







DAFTAR ISI
Kata Pengantar..............................................................................................................i
Daftar Isi........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................................1
B.    Rumusan Masalah.............................................................................................2
C.   Tujuan Pembahasan..........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
A.    Etika Islam..........................................................................................................3
1.    Pengertian Etika...........................................................................................3
2.    Etika dalam Pandangan Islam......................................................................5
B.    Bhinneka Tunggal Ika.........................................................................................6
1.    Pengertian Bhinneka Tunggal Ika................................................................6
2.    Bhinneka Tunggal Ika, Ciri Multikulturalisme Bangsa..................................7
3.    Implementasi Bhinneka Tunggal Ika............................................................8
C.   Kebangsaan dan NKRI......................................................................................10
1.    Kebangsaan................................................................................................10
2.    NKRI............................................................................................................14
D.   Implementasi Etika Islam dalam Revitalisasi Semangat Kebangsaan..............18

BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan........................................................................................................23
B.    Saran.................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................25






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Bangsa Indonesia adalah Bangsa yang sering disebut dengan bangsa paling majemuk di dunia. Negara dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa ini, berdiam tidak kurang dari 300 etnis dengan identitas kulturnya masing-masing, lebih dari 250 bahasa dipakai, beraneka adat istiadat serta beragam agama yang dianut. Kendati demikian, kehidupan berjalan apa adanya selama bertahun-tahun. Orang dengan suku berbeda dapat hidup rukun dengan suku lain yang berbeda adat, bahasa, agama, dan kepercayaan. Gesekan dan konflik memang kerap terjadi karena memang hal itu bagian dari dinamika masyarakat, namun semua gesekan yang ada masih dalam tahap kendali.
Negara yang memiliki keunikan multietnis dan multimental seperti Indonesia dihadapkan pada dilematisme tersendiri, di satu sisi membawa Indonesia menjadi bangsa yang besar sebagai multicultural nation-state, tetapi disisi lain merupakan suatu ancaman. Maka bukan hal yang berlebihan bila ada ungkapan bahwa kondisi multikultural diibaratkan seperti bara dalam sekam yang mudah tersulut dan memanas sewaktu-waktu. Kondisi ini merupakan suatu kewajaran sejauh perbedaan disadari dan dihayati keberadaannya sebagai sesuatu yang harus disikapi dengan toleransi.
Keadaan dapat berubah ketika masyarakat pendukung tak mampu menyikapi dan mengelola segala perbedaan dan konflik yang ada menjadi “energi sosial” bagi pemenuhan kepentingan bersama. Sehingga Indonesia dengan semboyan bhinneka tunggal ika yang berarti “berbeda-beda tetapi tetap satu” haruslah menjadi penyemangat dan pendorong setiap elemen masyarakat dalam kesatuan dan persatuan NKRI.
Semboyan yang diungkapkan bangsa Indonesia ini hingga detik ini belum menampakkan suatu perwujudan. Masih banyak yang menciderai bhinneka tunggal ika dengan konflik dan gesekan budaya. Tidak hanya itu, kejadian yang baru-baru ini kita lihat di stasiun televisi dan di media sosial, dimana konflik dan pergesekan terjadi dalam masalah agama yang ada di Indonesia khususnya Islam. Bagaimana Islam selalu terperosok dan disudutkan dalam setiap permasalahan, membuat umat Islam selalu memberikan perlawanan sebagai bentuk pembelaan terhadap agamanya. Gesekan demi gesekan antar umat beragama menjadi salah satu faktor yang melukai nilai-nilai kebhinnekaan tunggal ika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia ini. Dan inilah yang perlu diperbaiki oleh bangsa kita, agar perbedaan ini dapat menjadi energi sosial dalam membangun negara menjadi lebih baik.
Dari masalah tersebut, Islam sendiri telah mengajarkan umatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana sikap seorang muslim terhadap non-muslim, dan bagaimana menyikapi perbedaan lainnya dalam menjaga keutuhan NKRI. Dan tentunya ada beberapa hal yang sangat didorong oleh Islam dalam mewujudkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

B.    Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana Etika Islam dalam menyikapi perbedaan agama demi terlaksananya revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika sehingga timbul semangat kebangsaan dan dapat memperkokoh persatuan dalam NKRI.

C.   Tujuan Pembahasan
Tujuan penulisan makalah ini selain sebagai syarat mengikuti LK II HMI Cabang Medan, juga sebagai pengetahuan bagi pembaca terhadap bagaimana Etika Islam dalam menyikapi perbedaan agama demi terlaksananya revitalisasi Bhinneka Tunggal Ika sebagai pendorong semangat kebangsaan dan memperkokoh persatuan dalam NKRI.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Etika Islam
1.    Pengertian Etika
Menurut bahasa (etimologi) istilah etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti adat istiadat (kebiasaan), perasaan bathin, kecendrungan hati untuk melakukan perbuatan. Dalam kajian filsafat, etika merupakan bagian dari filsafat yang mencakup metafisika, kosmologi, psikologi, logika, hukum, sosiologi, ilmu sejarah, dan estetika. Etika juga mengajarkan tentang keluhuran budi baik – buruk.
Kata etos dalam bahasa Indonesia ternyata juga cukup banyak dipakai, misalnya dalam kombinasi etos kerja, etos profesi, etos imajinasi, etos dedikasi, etos kinerja dan masih banyak istilah lainnya. Etika termasuk ilmu pengetahuan tentang asas-asas tingkah laku yang berarti juga:
a.    Ilmu tentang apa yang baik, apa yang buruk, tentang hak - hak dan kewajiban.
b.    Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan tingkah laku manusia.
c.    Nilai mengenai benar atau salah, halal-haram, sah-batal, baik-buruk, dan kebiasaan-kebiasaan yang dianut suatu golongan masyarakat.

          Etika dapat didefenisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang segala soal kebaikan dalam hidup manusia semuanya, mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan perasaan sampai mengenai tujuannyan yang dapat merupakan perbuatan. Ilmu etika ini tidak membahas kebiasaan semata-mata yang berdasarkan tata adab, melainkan membahas tata sifat-sifat dasar, atau adat istiadat yang terkait tentang baik dan buruk dalam tingkah laku manusia. Jadi, etika menggunakan refleksi dan metode pada tugas manusia untuk menemukan nilai-nilai itu sendiri ke dalam etika dan menerapkan pada situasi kehidupan konkret[1].
          Ilmu etika juga sudah disebut-sebut sejak zaman Sokrates (470-399 SM). Ia berpendapat bahwa etika membahas baik-buruk, benar-salah dalam tingkah laku, tindakan manusia, dan menyoroti kewajiban-kewajiban manusia itu, tetapi bagaimana manusia seharusnya berbuat dan bertindak. Pengertian etika juga dapat diartikan dengan membedakan tiga arti dari penjelasan etika yaitu :
a.    Etika membahas ilmu yang mempersoalkan tentang perbuatan-perbuatan manusia mulai dari yang terbaik sampai kepada yang terburuk dan pelanggaran-pelanggaran hak dan kewajiban[2].
b.    Etika membahas masalah-masalah nilai tingkah laku manusia mulai dari tidur, kegiatan siang hari, istirahat, sampai tidur kembali; dimulai dari bayi hingga dewasa, tua renta dan sampai wafat[3].
c.    Etika membahas adat istiadat suatu tempat, mengenai benar salah kebiasaan yang dianut suatu golongan atau masyarakat baik masyarakat primitif, perdesaan, perkotaan hingga masyarakat modern[4].
          Menurut istilah (terminologi) para ahli berbeda-beda pendapat mengenai defenisi etika yang sesungguhnya. Berikut ini kami hadirkan beberapa pendapat para ahli tentang etika tersebut:
a.    Ahmad Amin mengartikan etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia didalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat[5].
b.    Soegarda Poerbakawatja mengartikan etika sebagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik buruk, berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan pengetahuan tentang nilai-nilai itu sendiri.
c.    Lewis Mustafa Adam mengartikan etika sebagai ilmu tentang filsafat, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia tetapi tentang idenya.
d.    M. Amin Abdullah mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi, bisa dikatakan etika berfungsi sebagai teori perbuatan baik dan buruk (ethics atau ‘ilm al-akhlak al-karimah), prakteknya dapat dilakukan dalam disiplin filsafat.Asmaran AS mengartikan etika sebagai ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai-nilai perbuatan tersebut baik atau buruk, sedangkan ukuran untuk menetapkan nilainya adalah akal pikiran[6].

          Jadi, etika adalah sikap kritis setiap pribadi dan kelompok masyarakat dalam merealisasikan moralitas itu. Karena Etika adalah refleksi kritis terhadap moralitas, maka etika tidak bermaksud untuk membuat orang bertindak sesuai dengan moralitas begitu saja. Etika memang pada akhirnya menghimbau orang untuk bertindak sesuai dengan moralitas, tetapi bukan karena tindakan itu diperintahkan oleh moralitas (nenek moyang, orang tua, guru), melainkan karena ia sendiri tahu bahwa hal itu memang baik baginya. Sadar secara kritis dan rasional bahwa ia memang sudah sepantasnya bertindak seperti itu. Etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom dan bukan heteronom. Etika bermaksud membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan karena setiap tindakannya selalu lahir dari keputusan pribadi yang bebas dengan selalu bersedia untuk mempertanggung jawabkan tindakannya itu karena memang ada alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang kuat mengapa ia bertindak begitu atau begini.

2.    Etika dalam pandangan Islam
Etika merupakan ilmu yang mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk sesuai dengan ajaran islam yang tidak bertentangan dengan alquran dan hadist. Etika dalam islam mengatur, mengarahkan fitrah manusia dan meluruskan perbuatan manusia dibawah pancaran sinar petunjuk Allah SWT., menuju keridhaan–Nya. Dengan melaksanakan etika islam niscaya selamatlah diri manusia dari pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan yang keliru lagi menyesatkan. Etika dalam islam ini mengandung berbagai manfaat, karena itu mempelajari ilmu etika ini dapat membuahkan hikmah yang sangat besar[7].
Etika dalam Islam akan melahirkan konsep ihsan, yaitu cara pandang dan perilaku manusia dalam hubungan sosial dan untuk mengabdi kepada Allah SWT., tanpa ada pamrih didalamnya. Disinilah peran orang tua dalam memberikan muatan moral kepada anak agar mampu memahami hidup dan menyikapi dengan bijak, sebagaimana Islam lahir ke bumi membawa kedamaian untuk alam semesta (rahmatan lilalamin)
Berdasarkan petunjuk Al-quran dan hadits nabi maka etika merupakan bukti dari pengangkatan Nabi Muhammad SAW, dimana beliau mempunyai etika yang terpuji, terpilih, sebagaimana Al-quran menyatakan dalam surah Al-Qalaam ayat 4:

Artinya : dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Dan dalam hadist nabi disebutkan yang artinya: “Sesungguhnya aku Muhammad diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia ” (HR. Achmad dan Malik).

Dari dalil diatas, maka etika dalam Islam dituntun oleh Al-Quran dan contoh dari perbuatan Nabi Muhammad, maka disini pula seseorang akan dinilai baik dan buruk perbuatannya, apakah sesuai dengan tuntunan agama atau tidak[8].



B.    Bhinneka Tunggal Ika sebagai Perekat Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.
1.    Pengertian Bhinneka Tunggal Ika
Sesanti atau semboyan Bhinneka Tunggal Ika diungkapkan pertama kali oleh Mpu Tantular, pujangga agung kerajaan Majapahit yang hidup pada masa pemerintahan Raja Hayamwuruk, di abad ke empatbelas (1350-1389). Sesanti tersebut terdapat dalam karyanya; kakawin Sutasoma yang berbunyi “Bhinna ika tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, “ yang artinya “Berbeda-beda itu, satu itu, tak ada pengabdian yang mendua.” Semboyan yang kemudian dijadikan prinsip dalam kehidupan dalam pemerintahan kerajaan Majapahit itu untuk mengantisipasi adanya keaneka-ragaman agama yang dipeluk oleh rakyat Majapahit pada waktu itu. Meskipun mereka berbeda agama tetapi mereka tetap satu dalam pengabdian[9].
Bhinneka Tunggal Ika dijadikan semboyan bangsa indonesia dalam mempersatu bangsa indonesia yang multikultural. Keragaman yang ada di Indonesia, baik itu keragaman suku, adat istiadat, agama dan kepercayaan, serta keragaman bahasa, maka disatupadukan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu.
2.    Bhinneka Tunggal Ika,  Ciri Multikulturalisme Bangsa
Keberagaman budaya Indonesia dilengkapi oleh keberagaman lain yang ada pada tatanan hidup masyarakat baik perbedaan ras, agama, bahasa, dan golongan politik yang terhimpun dalam suatu ideologi bersama yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.  Persatuan dikembangkan atas dasar bhinneka tunggal ika, dengan memajukan pergaulan demi kesatuan dan kemajuan bangsa. Sehingga semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya suatu slogan, tetapi merupakan pemersatu bangsa Indonesia. Keberagaman bangsa berlangsung berabad-abad lamanya, sehingga Indonesia ttumbuh dalam suatu keragaman yang kompleks.
Sebagai kalimat bijak, Bhinneka Tunggal Ika  memiliki kekuatan besar untuk mempersatukan perbedaan. Namun, hal ini harus didukung oleh kesadaran kita sebagai masyarakat Indonesia yang mampu mewujudkan kalimat bijak tersebut dalam bingkai kesatuan tanah air.
Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia telah menyadari kemajemukan, multietnik dan multi-agamanya sejak dulu. Kesadaran akan kebhinnekaan ini kemuadian dibangkitkan kembali pada masa perjuangan kemerdekaan untuk menggali semangat persatuan bangsa Indonesia yang ketika itu sedang menanggung penjajahan kolonial. Penjajahan kolonial memberikan rasa senasib sepenanggungan akan keadaan bangsa yang penuh dengan keterbelakangan. Muncul gagasan dan gerakan-gerakan perlawanan hingga kongres Sumpah Pemuda pun terlaksana sebagai inisiatif pemuda indonesia ketika itu. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang tertulis pada lambang negara Garuda Pancasila, harus teraktualisasi dalam kehidupan nyata di masyarrakat Indonesia dengan lebih baik.
Kesadaran akan perbedaan harus disikapi seperti tubuh manusia yang ketika salah satu merasakan sakit yang lainnya akan ikut merasakan. keragaman masyarakat meningkatkan mutu hidup, dengan memperkaya pengalaman kita, memperluas sumberdaya budaya.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang bermakna persaudaraan harus disosialisasikan kepada seluruh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang ada seperti lembaga pemerintah, swasta, lembaga sosial kemasyarakatan, lembaga keagamaan, lembaga kepemudaan, agar tebangun hidup yang rukun, damai, aman, toleran, saling menghormati, bekerjasama, bergotong-royong dalam rangka persatuan dan kesatuan bangsa[10].

3.    Implementasi Bhinneka Tunggal Ika
Implementasi Bhinneka Tunggal Ika adalah sebagai berikut :
a.    Prilaku Inklusif
Dalam kehidupan bersama yang menerapkan Bhinneka Tunggal Ika memandang bahwa dirinya, baik itu sebagai individu atau kelompok masyarakat merasa dirinya hanya merupakan sebagian dari kekuatan masyarakat yang lebih luas. Betapa besar dan penting kelompoknya dalam kehidupan bersama, tidak memandang rendah dan menyepelekan kelompok lain.  Masing-masing memiliki peran yang tidak dapat diabaikan, dan bermakna bagi kehidupan bersama.
b.    Mengakomodasi Sifat Pluralistik
Bangsa Indonesia sangat pluralistik ditinjau dari keragaman agama yang dipeluk oleh masyarakat, aneka adat budaya yang berkembang di daerah, suku bangsa dengan bahasanya masing-masing, yang menempati ribuan pulau yang tiada jarang terpisah demikian jauh dari pulau satu ke pulau yang lain. Tanpa stimemahami makna pluralistik dan bagaimana cara mewujudkan persatuan dalam keanekaragaman secara tepat, dengan mudah terjadi disintegrasi bangsa. Sifat toleran, saling menghormati, menundukkan masing-masing pihak sesuai dengan peran, hakikat dan martabatnya secara tepat, tidak memandang remeh pada pihak lain, apalagi menghapus eksistensi kelompok dari kehidupan bersama, merupakan syarat bagi lestarinya negara dan bangsa Indonesia[11].
c.    Tidak mencari kemenangan sendiri
Menghormati pendapat orang lain dengan tidak beranggapan bahwa pendapatnya sendiri yang paling benar, dirinya atau kelompoknya yang paling hebat perlu diatur dalam menerapkan Bhinneka Tunggal Ika. Dapat menerima dan memberi pendapat merupakan hal yang harus dikembangkan dalam kehidupan yang beragam. Perbedaan ini tidak untuk dibesar-besarkan, tetapi dicari titik temu. Bukan dikembangkan divergensi, tetapi yang harus diusahakan adalah terwujudnya konvergensi dari berbagai keanekaragaman. Untuk itu perlu dikembangkan musyawarah untuk mencapai mufakat.



d.    Musyawarah untuk Mencapai Mufakat
Dalam rangka membentuk kesatuan dalam keanekaragaman diterapkan pendekatan “musyarah dalam mencapai mufakat”. Bukan pendapat sendiri yang harus dijadikan kesepakatan bersama, tetapi common denominator, yakni inti kesamaan yang dipilih sebagai kesepakatan bersama. Hal ini hanya akan dicapai melalui proses musyawarah untuk mencapai mufakat. Dengan cara ini segala gagasan yang timbul diakomodasi dalam kesepakatan.
e.    Dilandasi rasa kasih sayang dan rela berkorban
Dalam menerapkan bhinneka tunggal ika dalam klehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilandasi oleh rasa kasih sayang. Tanpa ada rasa curiga mencurigai. Yang harus dikembangkan adalah rasa percaya mempercayai. Iri hati, dengki harus dibuang jauh dari kamus bhinneka tunggal ika.


C.   Kebangsaan dan NKRI
1.    Kebangsaan
a.    Pengertian kebangsaan
Definisi bangsa menurut paham bangsa Indonesia tertuang berdasarkan isi Sumpah Pemuda. Adanya unsur masyarakat yang membentuk bangsa yaitu: berbagai suku, adat istiadat, kebudayaan, agama, serta berdiam di suatu wilayah yang terdiri atas beribu-ribu pulau. Selanjutnya bangsa juga mempunyai kepengtingan yang sama dengan individu, keluarga, maupun masyarakat yaitu tetap eksis dan sejahtera. Salah satu persoalan yang timbul dari bangsa adalah ancaman disintegrasi dan yang palingmenjadi penyebab utama biasanya perbedaan persepsi pada upaya masyarakat yang ingin “merekatkan diri lebih ke dalam”, yaitu ingin mempertahanan pola[12]. Oleh karena itu pada bangsa yang baru merdeka atau berdiri diupayakan memiliki alat perekat yang berasal dari budaya masyarakat.Pada perkembangannya perekat ini dikenal sebagai ideologi yang hendaknya dipahami oleh bangsa itu sendiri.
Jadi, dapat disimpulkan bangsa adalah suatu kesatuan solidaritas yang terbentuk persamaan bahasa, ras, agama, peradaban, wilayah, negara, dan kewarganegaraan yang saling merekatkan satu dengan yang lain. Jadi pengertian kebangsaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan identitas suatu bangsa mulai dari semangat membela bangsa, sikap cinta akan tanah air hingga ideology yang hidup dalam suatu bangsa.


b.    Semangat Kebangsaan
Proklamasi dan revolusi kemerdekaan pada hakikatnya merupakan manifestasi dan kemampuan rakyat Indonesia. Manifestasi dan kemampuan rakyat Indonesia khususnya angkatan 1945, telah membangkitkan kekuatan dan daya cipta yang mampu menempatkan bangsa Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia.
Jiwa semangat kebangsaan merupakan sumber kehidupan bagi perjuangan bangsa Indonesia yang berisi kekuatan batin dalam merebut kemerdekaan, menegakkan kedaulatan rakyat, serta mengisi dan mempertahankannya. Adapun hal-hal yang terkandung dalam jiwa semangat kebangsaan[13] adalah sebagai berikut.
1)    Pro Patria dan Primus Patiralis, artinya mencintai tanah air dan mendahulukan kepentingan tanah air.
2)    Jiwa solidaritas dan kesetiakawanan dari semua lapisan masyarakat terhadap perjuangan kemerdekaan.
3)    Jiwa toleransi atau tenggang rasa antaragama, antarsuku, antargolongan, dan antarbangsa.
4)    Jiwa tanpa pamrih dan bertanggung jawab.
5)    Jiwa ksatria dan kebesaran jiwa yang tidak mengandung balas dendam.\
Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam semangat kebangsaan sebagai perwujudan keikhlasan, yaitu sebagai berikut:
1)    Semangat menentang dominasi asing dalam segala bentuknya, terutama penjajahan dari suatu bangsa terhadap bangsa lain
2)    Semangat pengorbanan seperti pengorbanan harta benda jiwa raga.
3)    Semangat tahan derita dan tahan uji.
4)    Semangat kepahlawanan
5)    Semangat persatuan dan kesatuan
6)    Percaya pada diri sendiri.
Selain itu, jiwa dan nilai-nilai semangat kebangsaan dapat pula diuraikan dalam nilai-nilai dasar dan nilai-nilai operasional. Nilai-nilai dasar meliputi semua nilai yang terdapat dalam setiap sila dari Pancasila dan semua nilai yang terdapat dalam proklamasi kemerdekaan. Adapun nilai-nilai operasional adalah nilai-nilai yang lahir dan berkembang dalam perjuangan bangsa Indonesia. Nilai-nilai operasional merupakan landasan yang kokoh dan daya dorong mental spiritual yang kuat dalam setiap tahap perjuangan bangsa.
Nilai-nilai operasional tersebut[14], antara lain:
1)    Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
2)    Jiwa dan semangat merdeka
3)    Nasionalisme
4)    Patriotisme
5)    Rasa harga diri sebagai bangsa yang merdeka.
6)    Pantang mundur dan tidak kenal menyerah;
7)    Persatuan dan kesatuan;
8)    Anti penjajah dan penjajahan;
9)    Percaya kepada hari depan yang gemilang dari bangsanya;
10) Idealism kejuangan yang tinggi;
11) Berani, rala, dan ikhlas, berkorban untuk tanah air, bangsa dan Negara;
12) Kepahlawanan;
13) Kesetiakawanan, senasib, sepenanggungan, dan kebersamaan;
14) Disiplin yang tinggi;
15) Ulet dan tabah menghadapi segala macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan.


c.    Revitalisasi Paham Kebangsaan
Hanya karena kemerdekaan telah tercapai, dan kebangsaan Indonesia telah menjadi kenyataan, belakangan ini seolah-olah terasa kuno apabila kita membicarakan relevansi nasionalisme atau paham kebangsaan tersebut. Orang pun lantas lebih suka memakai terminologi pluralisme atau cara pandang yang menghormati keanekaragaman atau pluralitas kita sebagai bangsa.
Padahal pluralisme itu secara substansi tak ada bedanya dengan cara pandang kebangsaan atau nasionalisme. Hanya masalah aksentuasinya saja yang agak berbeda. Nasionalisme secara langsung dikaitkan dengan eksistensi kita sebagai bangsa Indonesia, sedangkan pluralisme lebih sering dikaitkan dengan masalah hak asasi manusia atau sila ketuhanan dan kemanusiaan dalam Pancasila. Akan tetapi keduanya sebenarnya sama-sama mengapresiasi keragaman sebagai sebuah keniscayaan.
Yang penting digarisbawahi adalah baik paham kebangsaan maupun pluralisme mestinya disebarkan ke dalam benak masyarakat sebagai sebuah kesadaran atau pengetahuan, bukan dengan paksaan. Sebab ketika kebangsaan atau pluralisme diaplikasikan dengan paksaan (koersif) atau malah kekerasan (violence), maka ia menjadi proyek yang bersifat otoritarian dan tidak demokratis. Kebangsaan bila dipaksakan secara top-down hasilnya adalah penyeragaman ala proyek asas tunggal yang meminggirkan keragaman warga bangsa atau penciptaaan hantu SARA oleh Orde Baru yang menakut-nakuti rakyat akan perbedaan.
Sementara jika pluralisme dipaksakan terhadap entitas-entitas primordial yang homogen, maka justru akan meniadakan kekhasan masing-masing kelompok yang mestinya memang beragam atau berbeda antara satu dengan yang lain. Kelompok-kelompok yang secara internal relatif homogen seperti Gereja Katolik, Muhammadiyah, atau perkumpulan warga keturunan etnis Tionghoa, misalnya, tidak perlu ditekan untuk mempluralkan dirinya sendiri. Yang penting ialah adanya kesadaran mereka untuk menghormati pluralitas yang merupakan fakta tak terbantahkan dari kondisi alamiah bangsa Indonesia.
Maka, pluralisme atau nasionalisme yang dikembangkan –untuk tetap menjaga tegaknya negara kebangsaan Indonesia secara sehat dan alamiah—, mestinya ialah pluralisme dan nasionalisme yang bersifat partisipatif atau demokratis. Dengan kata lain, harus menghormati semua entitas yang homogen atau berbeda tetap dalam homogenitas atau perbedaannya, namun seiring dengan itu kita mendorong entitas-entitas ini menjadi apresiatif terhadap kekhasan entitas lainnya sekaligus apresiatif terhadap kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa.
Artinya, kita melakukan desiminasi bahwa Indonesia sebagai lebensraum (ruang hidup bersama) di satu sisi menenggang keragaman berbagai unsur pembentuk bangsa untuk tetap memelihara kekhasannya masing-masing, namun di sisi lain juga menuntut penghormatan atas spirit kesatuan atau kebersamaan sebagai satu bangsa yang sama. Dengan demikian, maka nasionalisme –atau bahasa masa kininya pluralisme— akan mampu menyediakan dirinya menjadi payung yang mengayomi keragaman kita sebagai bangsa, sekaligus menjamin kesatuan kita sebagai negara bangsa atau satu kekuatan nasional. Dengan kata lain, menjamin tegaknya Indonesia sebagai suatu rumah kebangsaan bagi beragam entitas bangsa yang berbeda-beda tapi memiliki spirit keindonesiaan yang sama.

2.   NKRI (Negar Kesatuan Republik Indonesia)
Syarat berdirinya sebuah negara ada empat, yaitu memiliki wilayah, memiliki penduduk, memiliki pemerintahan dan adanya pengakuan dari negara lain. Dan karena memenuhi empat syarat itulah kemudian Negara Indonesia lahir dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mengapa NKRI? Karena ini merupakan bentuk dari negara Indonesia, dimana negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, selain itu juga bentuk negaranya adalah republic. Walaupun negara Indonesia terdiri dari banyak pulau, tetapi tetap merupakan suatu kesatuan dalam sebuah negara dan bangsa yang bernama Indonesia.
Para pendiri bangsa (the founding fathers) sepakat memilih bentuk negara kesatuan karena bentuk negara kesatuan itu dipandang paling cocok bagi bangsa Indonesia yang memiliki berbagai keanekaragaman, untuk mewujudkan paham negara integralistik (persatuan) yaitu negara hendak mengatasi segala paham individu atau golongan dan negara mengutamakan kepentingan umum[15].
NKRI lahir dari pengorbanan jutaan jiwa dan raga para pejuang bangsa yang bertekad mempertahankan keutuhan bangsa. Sebab itu, NKRI adalah prinsip pokok, hukum, dan harga mati.
NKRI hanya dapat dipertahankan apabila pemerintahan adil, tegas, dan berwibawa. Dengan pemerintahan yang adil, tegas, dan berwibawalah masalah dan konflik di Indonesia dapat diselesaikan.
1.    NKRI, Negara Kebangsaan yang Berkerakyatan
Negara menurut filsafat pancasila adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Hakikat rakyat adalah sekelompok manusia yang bersatu yang memiliki tujuan tertentu dan hidup dalam satu wilayah negara. Di berbagai negara, sistem demokrasi diterapkan misalnya Perdana Menteri dipilih oleh parlemen. Berdasarkan berbagai teori dan konsep pemikiran demokrasi dan praktis demokrasi, maka demokrasi seyogyanya dipahami dan perspektif yang komprehensif, yaitu meliputi aspek filosofis, normatif, dan praktis. Aspek filosofis menyangkut dasar filosofis demokrasi yang menjadi dasar hakikat sesuai dengan landasan ontologis. Aspek normatif menyangkut bagaimana norma-norma sebagai asa dan aturan dalam demokrasi dikembangkan berlandaskan dasar filosofis masyarakat, bangsa, dan negara.
2.    NKRI, Negara Kebangsaan yang Berkeadilan Sosial
Negara Pancasila adalah negara kebangsaan yang berkeadilan sosial, yang berarti bahwa negara sebagai penjelmaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sifat kodrat individu dan makhluk sosial bertujuan untuk mewujudkan suatu keadilan dalam hidup bersama (Keadilan Sosial). Dalam hidup bersama baik dalam masyarakat, bangsa, dan negara harus terwujud suatu keadilan  (Keadilan Sosial), yang meliputi tiga hal yaitu:
a.    Keadilan Distributif (keadilan membagi), yaitu negara terhadap warganya.
b.    Keadilan Legal (keadilan bertaat), yaitu warga terhadap negaranya untuk mentaati peraturan perundangan, dan
c.    Keadilan Komutatif (keadilan antar sesama warga negara), yaitu hubungan keadilan antara warga satu dengan lainnya secara timbal balik.

Dalam realisasinya Pembangunan Nasional adalah suatu upaya untuk mencapai tujuan negara, sehingga Pembangunan Nasional harus senantiasa meletakkan asas keadilan sebagai dasar operasional serta dalam penentuan berbagai macam kebijaksanaan dalam pemerintahan negara. Dalam realisasinya pemerintah mengembangkan Otonomi Daerah No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut dijelaskan bahwa Pemerintah Pusat memberikan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengatur dan menjalankan roda pemerintahan daerah masing-masing, dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah.
        Berdasarkan asas keadilan sebagaimana terkandung dalam sila kelima Pancasila, seharusnya tidak meninggalkan hakikat negara persatuan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, karena praktek otonomi daerah yang tidak mendasarkan pada prinsip negara persatuan dewasa ini menimbukan disparitas di bidang ekonomi, sosial, politik bahkan kebudayaan. Prinsipnya berdasarkan sila kelima Pancasila, prinsip demokrasi melalui otonomi daerah harus tetap diarahkan pada tujuan pokok negara yaitu kesejahteraan seluruh rakyat dan tetap meletakkan pada prinsip persatuan.

3.    Tujuan NKRI
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terdapat dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat yaitu “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Dari rumusan tersebut, tersirat adanya tujuan nasional/Negara yang ingin dicapai sekaligus merupakan tugas yang harus dilaksanakan oleh Negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
1.    Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
2.    Memajukan kesejahteraan umum;
3.    Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4.    Ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Upaya untuk Menumbuhkan Kembali Nasionalisme Bangsa
a.    Peran Keluarga
1)    Memberikan pendidikan sejak dini tentang sikap nasionalisme dan patriotism terhadap bangsa Indonesia.
2)    Memberikan contoh atau tauladan tentang rasa kecintaan dan penghormatan pada bangsa.
3)    Memberikan pengawasan yang menyeluruh kepada anak terhadap lingkungan sekitar.
4)    Selalu menggunakan produk dalam negeri.
b.    Peran Pendidikan
1)    Memberikan pelajaran tentang pendidikan pancasila dan kewarganegaraan dan juga bela Negara.
2)    Menanamkan sikap cinta tanah air dan menghormati jasa pahlawan dengan mengadakan upacara setiap hari senin dan upacara hari besar nasional.
3)    Memberikan pendidikan moral, sehingga para pemuda tidak mudah menyerap hal-hal negatif yang dapat mengancam ketahanan nasional.
4)    Melatih untuk aktif berorganisasi.
c.    Peran Pemerintah
1)    Menggalakan berbagai kegiatan yang dapat meningkatkan rasa nasionalisme, seperti seminar dan pameran kebudayaan.
2)    Mewajibkan pemakaian batik kepada pegawai negeri sipil setiap hari jum’at. Hal ini dilakukan karena batik merupakan sebuah kebudayaan asli Indonesia, yang diharapkan dengan kebijakan tersebut dapat meningkatkan rasa nasionalisme dan patrotisme bangsa.
3)    Lebih mendengarkan dan menghargai aspirasi pemuda untuk membangun Indonesia agar lebih baik lagi.
Pada akhirnya kita harus memutuskan rasa kebangsaan kita harus dibangkitkan kembali. Namun bukan nasionalisme dalam bentuk awalnya seabad yang lalu. Nasionalisme yang harus dibangkitkan kembali adalah nasionalisme yang diarahkan untuk mengatasi berbagaipermasalahan, bagaimana bisa bersikap jujur, adil, disiplin, berani melawan kesewenang-wenangan, tidak korupsi, toleran, dan lain-lain. Bila tidak bisa, artinya kita tidak bisa lagi mempertahankan eksistensi bangsa dan negara dari kehancuran total.
D.   Implementasi Etika Islam dalam Revitalisasi Semangat Kebhinnekaan
Kedatangan bangsa-bangsa dunia ke nusantara berabad-abad yang lalu, memberi warna khusus bagi perjalanan sejarah negeri ini. Sebagai pusat interaksi dagang internasional kala itu, nusantara terbuka untuk menampung keragaman yang sempat singgah, bahkan menjadikannya sebagai bagian utuh dari terbentuknya negara-bangsa bernama Indonesia.
Salah satunya Islam, yang kelak menjadi entitas religius terbesar di negeri ini. Menurut berita Cina Dinasti Tang, diungkapkan oleh Buya Hamka bahwa islam masuk ke nusantara pada abad ke-7, dibawa oleh wirausahawan Arab yang dibekali dengan ilmu agama Islam yang menjelajah ke pantai barat sumatera. Selanjutnya, Islam berkembang dan membangun peradaban baru, bermunculanlah kerajaan-kerajaan Islam, dan di kemudian hari membentuk sistem masyarakat secara kultural berbasis Islam hingga saat ini.
Sebagai negara yang terlahir dari pergolakan dan perjuangan, kemerdekaan dan terbentuknya Indonesia dipengaruhi banyak oleh eksistensi dan pergerakan islam. Konsepsi Jihad kabangsaan melawan penjajah oleh pejuang muslim di masa lalu, memberikan gambaran utuh bahwa islam hadir sebagai pembentuk nasionalisme, atau lebih tepatnya cikal-bakal semangat kebangsaan. Karena dalam Islam sendiri, mencintai tanah air merupakan bagian dari ajaran Islam.
Pasca merdeka, kearifan masyarakat Indonesia dirangkum dalam sebuah wadah ideologis, berkat konsensus para the founding fathers, maka lahirlah Pancasila. Selain sebagai ideologis, juga sebagai falsafah dan pandangan hidup kebangsaan. Falsafah inilah selanjutnya menjadi landasan bergerak dalam berbangsa dan bernegara. Butir-butir sila Pancasila menggambarkan bahwa bangsa ini memiliki semangat dan cita-cita besar bagi peradaban dunia yang berketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan keadilan. Lima butir sila ini, secara berurutan, selaras dengan konsepsi keislaman yang mengajarkan: fondasi tauhid, konsepsi akhlak dan keberadaban, prinsip persaudaraan dan persatuan, prinsip musyawarah, dan cita-cita keadilan dan kemakmuran. Dalam sejarahnya, islam memiliki peran strategis dalam membangun semangat perjuangan menghadapi kolonialisme sekaligus sebagai faktor pemersatu bangsa.
“Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia adalah satu kebudayan yang lengkap” – begitulah yang diungkapkan oleh sejarawan Prof. H.A.R. Gibb. Sebagai sebuah sistem yang syumul, Islam menyentuh seluruh bidang kehidupan masyarakat, termasuk dalam menumbuhkann semangat kebangsaan. Sehingga tidak ada irisan antara Islam dan keindonesiaan, ia berada dalam satu paket yang sistemik antara nasionalisme dan islamisme.
Kita menyadari, perdebatan antara Islam dan nasionalisme terus digulirkan oleh kelompok-kelompok fundamentalis dari sisi kanan, di sisi berlawanan juga dilakukan oleh kelompok sekularis. Seolah islam dan semangat kebangsaan adalah sesuatu yang debatabel dan irrelevan. Padahal para pendiri bangsa ini, seperti Moh. Natsir menekankan bahwa keadaan sekulerisme tidak mampu memberi pegangan hidup dan keseimbangan hidup, baik bagi orang perseorangan ataupun bagi suatu bangsa.
Sudah saatnya kita merekonstruksi spirit kebangsaan dengan menjadikan islam sebagai penyokong. Dengan memberi penjelasan utuh melalui pendidikan kultural bahwa segala gerak kehidupan kebangsaan kita berasaskan nilai-nilai keislaman. Selanjutnya, peran para pemimpin bangsa sangat diperlukan dalam membangun prototype negarawan yang islami juga nasionalis. Dengan begitu, Islam dan semangat kebangsaan akan menjadi budaya masyarakat sekaligus model bagi kepemimpinan nasional[16].
Dalam menjaga keutuhan NKRI dalam semboyan bhinneka tunggal ika,
Islam mengajarkan sikap toleransi antar umat beragama.
Islam dalam menyikapi perbedaan dalam agama, hal yang harus diperhatikan yaitu mengenai Toleransi.
1.    Toleransi
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” (Inggris: tolerance; Arab: tasamuh) yang berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Secara etimologi, toleransi adalah kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada. Sedangkan menurut istilah (terminology), toleransi yaitu bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dsb) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.
Jadi, toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau system keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.
Toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adapt-istiadat, budaya, bahasa, serta agama. Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Allah.
2.    Toleransi dalam Islam
Prinsip toleransi yang ditawarkan Islam dan ditawarkan sebagian kaum muslimin sungguh sangat jauh berbeda. Sebagian orang yang disebut ulama mengajak umat untuk turut serta dan berucap selamat pada perayaan non muslim. Namun Islam tidaklah mengajarkan demikian. Prinsip toleransi yang diajarkan Islam adalah membiarkan umat lain untuk beribadah dan berhari raya tanpa mengusik mereka. Senyatanya, prinsip toleransi yang diyakini sebagian orang berasal dari kafir Quraisy di mana mereka pernah berkata pada Nabi kita Muhammad SAW;
“Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425).

Mengenai perintah toleransi ini, Allah berfirman:
ž
Artinya : Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.

Ayat ini mengajarkan prinsip toleransi, yaitu hendaklah setip muslim berbuat baik pada yang lainnya selama tidak ada sangkut pautnya dengan hal agama. Ibnu Katsir rahimahumullah berkata : “ Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah diantara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil”. Ibnu Jarir Ath Thobari rahimahumullah mengatakan bahwa bentuk berbuat baik dan adil disini berlaku kepada setiap agama.
Mengenai bagaimana cara seorang muslim bertoleransi, Allah SWT telah menjelaskan dalam Al-quran surat Al-Kaafirun ayat 1-6 :
Artinya: Katakanlah: "Hai orang-orang kafir. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. bagimu agamamu, dan bagiku, agamaku."
Begitulah Islam mengajarkan umatnya dalam toleransi. Tidak ada keraguan lagi, bahwa setiap muslim wajib mengharagi umat agama lain dalam perihal agama mereka. Namun demikian, Islam sangat melarang umatnya ikut serta dalam hal agama lain, seperti contohnya memberi ucapan selamat atas hari raya umat non muslim. Karena menurut islam, hal itu sama dengan mengakui agama mereka dan mengakui bahwa Tuhan yang mereka imani benar-benar Tuhan pencipta alam dan seisinya.
Dari pembahasan diatas, jelaslah bahwa agama Islam sangat mendukung semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bagaimana Islam mewajibkan umatnya untuk selalu menghargai keyakinan agama lain tanpa mencampuri apalagi menggaggu umat agama lain dalam ibadahnya. Sehingga terciptalah sikap saling menghargai dan terciptanya persatuan dan kesatuan bangsa. Tinggal bagaimana umat Islam dalam memahami perintah toleransi tersebut serta memahami arti dari bhinneka tunggal ika itu sendiri.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Etika merupakan sesuatu yang lahir dari hati dan fikiran seseorang dalam menilai baik buruknya suatu perbuatan maupun ucapan. Setiap tingkah laku manusia yang disandarkan pada nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Masyarakat multikultural di Indonesia harus memiliki etika yang baik terhadap sesamanya. Tidak mengedepankan perbedaan tetapi tetap berada dalam semangat NKRI melaui satu semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perbedaan disatukan dalam lingkaran NKRI demi terwujudnya masyarakat yang dicita-citakan sebelumnya.
Secara mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam, dan diharapkan menanamkan nilai-nilai Islam yang fundamental kepada setiap individunya. maka Islam mengajarkan bagaimana seorang muslim beretika sesuai dengan tuntunan syariat islam. Sehingga bagaimana etika seorang muslim terhadap keberagaman yang ada di Indonesia ini dapat menjadi energi sosial.
Sikap seorang muslim terhadap agama lain ialah harus tertanamnya sikap toleransi. Toleransi dalam Islam adalah sikap menghargai, tidak megusik dan mengganggu uamat agama lain dalam peribadatan mereka. Kare Allah SWT., memerintahkan kepada setiap umat Islam harus berlaku baik kepada sesama saudaranya muslim dan kepada umat beragama lain. Sehingga terciptalah kedamaian dan kesejahteraan umat, meredam konflik-konflik yang terjadi dan mengubahnya menjadi energi sosial seperti yang disematkan kedalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika walaupun berbede-beda tetapi tetap satu.

B.    Saran
Berdasarka makalah ini penulis memberikan beberapa masukan mengenai etika umat Islam dalam menyikapi perbedaan agama di Indonesia yaitu, Setiap Umat Islam wajib mengedapankan sikap toleransi terhadap umat agama lain, tidak mengedepankan kepentingan individu dan kelompok dalam persoalan bersama. Dan selalu berbuat baik, baik kepada sesama muslim maupun kepada umat agama lain demi terciptanya kesatuan dan persatuan dalam NKRI.
Kemudian, penulis juga mengarapkan kritikan dan saran pembaca demi menyempurnakan penulisan makalah ini. Karena penulis menyadari sedikit banyaknya kekurangan dalam penulisan dan jauh dari kesempurnaan.








DAFTAR PUSTAKA

Rapar, Jan Hendrik.. Pengantar Ilmu filsafat. Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah; 1996
AR, Zahrudin. Pengantar Study Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003
Bertens, K. Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003
Amin, Ahmad. Etika (Ilmu Akhlak), Terj. KH Farid Ma’ruf. Jakarta : Bulan Bintang;1983
Al-Hakim, Suparlan, dik. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang; 2012
Kusuma, Erwin dan Khairul. Pancasila dan Islam. Jakarta: Baur Publishing; 2008
AS, Asmaran.. Pengantar Study Akhlak. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 1992
Abdullah, M. Yatim. Pengantar Study Etika. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2006
Mathar, M. Qasim. Sejarah, Teologi dan Etika Agama-agama. Yogyakarta: Interfidei; 2005
Lestari, Gina. Bhinneka Tunggal Ika : Khasanah Multikultural Indonesia ditengah Kehidupan SARA. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada; 2005
Winataputra, Udin S. Multikulturalisme Bhinneka Tunggal Ika dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Kerakter Bangsa Indonesia. 2009
Urbaningrum, Anas. Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholis Majid. Jakarta: Republika; 2004
Suprapto. Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: LPPKB; 2007
Srijanti,. H, I, Rahman, A,. S, K, Purwanto,. Etika Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba Empat; 2007
Santoso, Listiono. Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila di Tengah Gaya Hidup Pragmatis dan Individualistik; 2009
Al-Hakim, Suparlan. Pendidikan Kewarganegaraan dalam konteks Indonesia. Malang: Universitas Negeri Malang; 2012
Kusuma, Erwin., Khairul. Pancasila dan Islam. Jakarta: Baur Publishing; 2008




[1] Jan Hendrik Rapar. Pengantar Filsafat  (Yogyakarta: Kanisius, Pus Wilayah, 1996), hlm. 62
[2] Juhaya S. Praja. Filsafat dan Etika (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 59
[3] Zahrudin AR. Pengantar Study Akhlak (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003) hlm. 43
[4] K. Bertens. Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), hlm. 231
[5] Ahmad Amin. Etika (Ilmu Akhlak), Terj, KH Farid Ma’ruf, Judul asli Al-Akhlak, Cet 3 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 3
[6] Asmaran AS. Pengantar Study Akhlak (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), hlm. 7
[7] M Yatimin Abdullah, Pengantar Study Etika (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 10
[8] M Qasim Mathar, Sejarah, Teologi dan Etika Agama-agama (Yogyakarta Interfidei , 2005), hlm. 270
[9] Gina Lestari, “Bhinneka Tunggal Ika: Khasanah Multikultural Indonesia di Tengah Kehidupan SARA” (Universitas GajahMada: Yogyakarta,2015), hlm.3
[10] Dr Udin S.Winataputra,M.A. 2009. Multikulturalisme-Bhinneka Tunggal IKa dalam Perspektif Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Wahana Pembangunan Karakter Bangsa Indonesia, hlm 5
[11] Anas Urbaningrum. Islamo-demokrasi: Pemikiran Nurcholis Majid. (Jakarta: Republika,2004), hlm 147
[12] Soeprapto, Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.( LPPKB, Jakarta, 2007).hlm 12
[13] Srijanti, A. Rahman H. I, Purwanto S. K., “Etika Berwarga Negara: Pendidikan Keewarganegaraan di Perguruan Tinggi” (Jakarta: Salemba Empat,2007). hlm,24
[14] Listiyono Santoso. 2009 Revitalisasi Nilai-nilai Pancasila di Tengah Gaya Hidup Pragmatis dan Individualistik, hlm.12
[15] Suparlan Al-hakim, Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2012), hlm 9
[16] Erwin Kusuma dan Khairul,. Pancasila dan Islam, (Jakarta : Baur Publishing,2008), hlm 24

No comments:

Post a Comment